SEKOLAH DASAR NEGERI SIKALONDANG KECAMATAN SIMPANG KIRI KOTA SUBULUSSALAM, PROVINSI ACEH Yang Tak Berubah
Sejak kecil Ramadhan selalu menjadi bulan yang
mengesankan lebih dari waktu-waktu yang lain.
Bahkan Lebaran atau Tahun Baru tak disambut
semeriah seperti saat menyambut datangnya bulan
puasa. Pertengahan Sya’ban, masjid-masjid Arab
mulai mendengungkan Al-Quran sejak pukul dua belas malam. Masjid tradisional lain mulai berbenah,
memperbarui cat tembok atau bila kas berlebih takmir masjid akan mengganti mimbar dan permadani sekaligus mengganti ubin teras dengan yang baru.
Aku dan teman-teman semasa kecil ikut larut dalam
kemeriahan. Kami berlomba menyiapkan sarung dan
sajadah baru, gadis-gadis sibuk menjahitkan baju dan mukena. Bahkan kami berusaha menabung membeli baju beberapa karena tiap tarawih dan kuliah subuh harus tampil keluar rumah dalam pakaian bersih. Bapak dan ibuku bukan orang kaya, tapi Ibu selalu berusaha mengganti baju anak-anaknya tiap memasuki Ramadhan.
Ibu akan mencari bahan murah di kain kiloan kemudian menjahit sendiri. Sekalipun jahitan beliau terkadang kurang pas, tapi aku senang sekali
memakainya karena hemku bertambah beberapa buah. Saat yang paling menyenangkan adalah ta’jil
atau menikmati makanan berbuka puasa. Jangan dikata kami menikmati makanan mewah. Kampungku lebih banyak dihuni orang-orang dari kalangan menengah ke bawah.
Namun masjid kami, Nurul Huda, tetaplah meriah. Sebungkus kolak, kacang hijau atau koktail, cukup membuat kami berebut hingga terkadang tumpah pecah beberapa buah yang menyebabkab takmir masjid marah besar. Aku dan teman-teman akan segera membersihkan sembari cekikikan.
Terkadang ta’jil juga berupa nasi bungkus dengan
lauk ala kadarnya. Ibu lebih senang membuat nasi bungkus saat mendapat giliran karena menurutnya ini lebih mengenyangkan, sekaligus beliau memasak
untuk sekeluarga. Biasanya ibu membuat mie, sambal kering tempe, dan telur rebus separo.
Alangkah nikmatnya aku menyantap makanan itu di teras masjid, berlomba menghabiskan bersama teman-teman kecilku karena sebentar lagi kami akan berebut tempat wudhu. Ada kejadian memalukan yang tak akan pernah terlupa. Ibu memintaku membawa Arifin, adikku, ke masjid saat pengajian asar menyambut datangnya buka puasa. Beliau harus pergi mengunjungi salah satu kerabat yang sakit di Rumah Sakit Kardinah sementara Bapak masih harus menjaga kios obat di dekat terminal.
Walau berat hati kuturuti permintaan Ibu, bukan karena aku tak mau menjaga Arifin tapi karena adikku yang satu itu luar biasa bandelnya. Ia tak cukup hanya berdiam diri mendengarkan ceramah walau telah berbekal seplastik kresek kue dan permen kesukaannya. Ia berlari-lari di tengah masjid, naik mimbar, meloncat-loncat di atas meja panjang pengajian, hingga naik ke pagar besi yang membuat bapak-bapak dan para ibu di situ berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatannya. Lengkaplah pederitaanku ketika tiba-tiba ia tanpa bersalah menghentikan aktivitasnya lalu menunduk, memandang di antara kedua kakinya, melihat sebuah cairan kuning hangat merembes keluar. Teriakan teman-temanku menandakan sebuah bencana telah terjadi. “Ardi! Adikmu ngompol!”
Aku pucat pasi dengan dada berdegup hebat. Ngompol? Di tengah masjid, di atas sajadah-sajadah? Merah padam mukaku mengemasi sajadah yang najis sembari mengepel lantai. Tatapan takmir serasa menghukumku tanpa ampun, aku pulang sambil menggendong Arifin. Kucubiti ia sepanjang jalan hingga meraung.
Di rumah Ibu pun menegur lantaran aku bersikap kasar pada adik hingga aku menangis karena sedih dan malu, walau di malam hari Ibu meminta maaf atas kejadian tersebut. Rasanya belum pernah aku menjadi pahlawan penuh pengorbanan seperti itu. Sepanjang kereta api ekonomi yang mengguncang
tubuhku sejak dari Yogya, bayangan demi bayangan
masa kecilku melintas begitu rupa.
Yudha, Erwin, Bagas, Firdaus. Si centil Eka dan Risma. Apa kabar teman- teman masa kecilku sekarang? Aku mendekap erat tas ransel di perut, melindungi bunyi kemeriuk yang muncul dari perut. Fajar tadi aku bangun terlalu lambat hingga hanya sempat minum sesendok madu dan segelas air putih.
Indekos di akhir Ramadhan mulai sepi, hanya tinggal aku dan Fajar, anak Lampung. Bausasran mulai ditinggalkan celoteh anak-anak muda yang tak
pernah kehabisan bahan diskusi. Sekarang penghuninya hanya penduduk asli dan kerabat dekat mereka yang pulang kampung merayakan Lebaran. Aku pulang H minus tiga karena anak lesku tak mau ditinggalkan. Bagi anak kelas dua SMP itu aku bukan hanya sekedar guru matematika, tapi juga teman berbagi mengingat kedua orang tuanya sibuk dari pagi hingga selepas magrib.
Aku sendiri tak begitu memahami kerja mamanya yang cantik bak bintang film, kabarnya ia bekerja di Sheraton Hotel yang justru makin sibuk menjelang Idul Fitri. Aku menyandarkan kepala ke belakang, mengatasi rasa pusing dan lapar. Jangan dikata seperti apa gerbong ini sekarang. Penuh sesak berjejal seperti para peserta transmigrasi.
Kalau saja di Tegal tersedia lapangan terbang, aku pasti memilih jalur udara yang tiketnya sangat bersaing sekarang. Bila terbang ke Makassar cukup empat puluh dua ribu, barangkali ke Tegal hanya
butuh dua puluh ribu.
Sejak kecil Ramadhan selalu menjadi bulan yang
mengesankan lebih dari waktu-waktu yang lain.
Bahkan Lebaran atau Tahun Baru tak disambut
semeriah seperti saat menyambut datangnya bulan
puasa. Pertengahan Sya’ban, masjid-masjid Arab
mulai mendengungkan Al-Quran sejak pukul dua belas malam. Masjid tradisional lain mulai berbenah,
memperbarui cat tembok atau bila kas berlebih takmir masjid akan mengganti mimbar dan permadani sekaligus mengganti ubin teras dengan yang baru.
Aku dan teman-teman semasa kecil ikut larut dalam
kemeriahan. Kami berlomba menyiapkan sarung dan
sajadah baru, gadis-gadis sibuk menjahitkan baju dan mukena. Bahkan kami berusaha menabung membeli baju beberapa karena tiap tarawih dan kuliah subuh harus tampil keluar rumah dalam pakaian bersih. Bapak dan ibuku bukan orang kaya, tapi Ibu selalu berusaha mengganti baju anak-anaknya tiap memasuki Ramadhan.
Ibu akan mencari bahan murah di kain kiloan kemudian menjahit sendiri. Sekalipun jahitan beliau terkadang kurang pas, tapi aku senang sekali
memakainya karena hemku bertambah beberapa buah. Saat yang paling menyenangkan adalah ta’jil
atau menikmati makanan berbuka puasa. Jangan dikata kami menikmati makanan mewah. Kampungku lebih banyak dihuni orang-orang dari kalangan menengah ke bawah.
Namun masjid kami, Nurul Huda, tetaplah meriah. Sebungkus kolak, kacang hijau atau koktail, cukup membuat kami berebut hingga terkadang tumpah pecah beberapa buah yang menyebabkab takmir masjid marah besar. Aku dan teman-teman akan segera membersihkan sembari cekikikan.
Terkadang ta’jil juga berupa nasi bungkus dengan
lauk ala kadarnya. Ibu lebih senang membuat nasi bungkus saat mendapat giliran karena menurutnya ini lebih mengenyangkan, sekaligus beliau memasak
untuk sekeluarga. Biasanya ibu membuat mie, sambal kering tempe, dan telur rebus separo.
Alangkah nikmatnya aku menyantap makanan itu di teras masjid, berlomba menghabiskan bersama teman-teman kecilku karena sebentar lagi kami akan berebut tempat wudhu. Ada kejadian memalukan yang tak akan pernah terlupa. Ibu memintaku membawa Arifin, adikku, ke masjid saat pengajian asar menyambut datangnya buka puasa. Beliau harus pergi mengunjungi salah satu kerabat yang sakit di Rumah Sakit Kardinah sementara Bapak masih harus menjaga kios obat di dekat terminal.
Walau berat hati kuturuti permintaan Ibu, bukan karena aku tak mau menjaga Arifin tapi karena adikku yang satu itu luar biasa bandelnya. Ia tak cukup hanya berdiam diri mendengarkan ceramah walau telah berbekal seplastik kresek kue dan permen kesukaannya. Ia berlari-lari di tengah masjid, naik mimbar, meloncat-loncat di atas meja panjang pengajian, hingga naik ke pagar besi yang membuat bapak-bapak dan para ibu di situ berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatannya. Lengkaplah pederitaanku ketika tiba-tiba ia tanpa bersalah menghentikan aktivitasnya lalu menunduk, memandang di antara kedua kakinya, melihat sebuah cairan kuning hangat merembes keluar. Teriakan teman-temanku menandakan sebuah bencana telah terjadi.
Aku memejamkan mata meski sesekali mengintip dari balik kelopak mata yang tertutup topi. Lalu-lalang orang. Penjaja makanan. Sekarang orang tak malu lagi makan di siang hari atau merokok saat bulan puasa.
Sedih dan kecewa, apalagi bila kuingat masa kecilku.
Temanku akan malu luar biasa bila ketahuan tidak puasa dan akan menjadi bahan ledekan sepanjang hari. Kini jangankan anak-anak, di Malioboro Mall para pemuda tak malu-malu nongkrong di kafe saat
matahari masih terang benderang. Kueratkan dekapan ransel. Tas butut yang berisi harta karun oleh-oleh hasil keringatku sendiri dari mengajar les dan bisnis souvenir.
Bakpia, yangko, kue kipo khas Kotagede kesukaan Ibu. Tak ketinggalan Silverqueen selera Arifin meski ia telah menginjak bangku SMU. Cokelat itu sudah
banyak dijual di Tegal tentu saja, tapi membawanya
jauh-jauh sebagai oleh-oleh akan terasa berbeda.
***
Aku seperti kue kering yang sudah sangat kemeriuk di dalam oven. Panas terik. Penumpang berjejal. Setiap kaki berniat ingin turun terlebih dahulu. Logat Betawi dan Ngapak bertumpang tindih. Antara lu dan nyong sering salah kaprah. Orang-orang perantauan ini ingin terlihat pulang dalam keadaan mapan. Baju beraneka ragam. Tas-tas sarat beban, meski tak seorang pun tahu kehidupan seperti apa yang mereka jalani sehari-hari.
Temanku yang kuliah di UNJ cerita, banyak orang Tegal sukses merantau tapi tak berhasil membangun daerah asalnya sendiri lantaran terlalu sibuk menghamburkan uang mengejar gengsi sebagaimana layaknya tuntutan kota besar.
Aku tetap mendekap ransel, khawatir tukang copet
mulai berkeliaran. Uangku tak seberapa tapi rasanya tak rela sepeserpun hasil jerih payah ini raib. Kuseka keringat di leher sembari melirik arloji di pergelangan.
Naif sekali melihat jam berapa sekarang, seolah mengukur berapa lama lagi aku harus bersabar menahan dahaga. Tukang becak dan sopir taksi berebut menyambut. Aku sibuk mengangguk sembari menggeleng, campuran antara salam menghormat pada mereka yang sudah sepuh
mengayuh pedal sekaligus menolak tawaran baik itu.
Aku berjalan keluar peron, menanti di lapangan parkir stasiun dekat Taman Poci. Mataku berkeliling,
tersenyum sendiri mengingat betapa dekatnya hidupku selama ini dengan pohon-pohon akasia rindang dan suasana sederhana yang belum lepas dari kehidupan keseharian di sini.
“Slawi, Den…”
“Binjaran, Mas?”
“Lebaksiu, Lebaksiu!”
“Martoloyo, monggo. Terserah Mas berapa, asal
pantes.
” Aku tersenyum gugup.
Hatiku terluka terpaksa menolak permintaan mereka. Seandainya aku punya uang banyak. Kupercepat langkah meninggalkan kerumunan orang yang membuatku semakin merasa terhimpit rasa bersalah. Di ujung lapangan parkir aku berhenti sebentar mengatur napas.
Sudah tidak lagi tampak orang-orang mengerumuniku meski beberapa pasang mata sopir angkot masih meneliti apakah aku bersedia naik mobil mereka ataukah tidak. Di tepi parkiran ini lebih sejuk. Tak banyak tukang becak maupun mobil angkot ngetem, pohon akasia pun masih rimbun berjajar. Mataku tertumbuk tiba-tiba pada tugu tua dekat pom bensin.
Tugu batu kokoh yang telah berlumut berusia ratusan tahun. Ilalang tinggi mengelilinginya, menutupi sebagian teras kecil berpelur semen yang telah retak di depan tugu. Bukan tugu itu yang membuat mataku terhujam. Tapi sosok seseorang. Seseorang yang masih tetap duduk setia di situ, bertopi lobe rajutan wol usang, berselimutkan sarung tua. Buntalan kain masih ada di sisinya, tak lekang menemani bersama segelas besar cangkir seng yang sudah terkelupas catnya di banyak
tempat.
Ia masih di situ. Lelaki itu masih di situ. Wajahnya masih tetap sama seperti ketika aku melewatinya setiap hari bersama teman-teman beriringan naik sepeda menuju sekolah dasar kami di Mangkusuman.
***
Ibu menghujaniku dengan ciuman. Diana dan Arifin
bergantian memelukku, Bapak mengacak-acak
rambutku. Dari sekian banyak anugerah Allah yang
diberikan, keluarga inilah nikmat terbesar yang
kumiliki. Aku mengeluarkan jilbab dan kain bermotif bunga kecil-kecil sebagai hadiah untuk Diana. Ia sedang belajar menjahit sendiri dari gurunya, ibu kami, yang juga penjahit amatiran.
Aku sering meledeknya kenapa sudah terampil ini itu padahal ia baru kelas tiga SMU.
“Mau nikah cepat yeee?
” ledekku. Mukanya memerah.
“Sembarangan!
” umpatnya.
“Aku pingin nantikalau kuliah punya keahlian khusus.
Di koran beberapa kali kubaca, anak kuliah yang sukses mengelola bisnis boneka atau selimut patchwork. Biar tamat kuliah nggak jadi pengangguran.”
“Iyaa. Percaya, percayaaa…”
Buka puasa bersama hari itu adalah kebahagiaan luar biasa yang akan selalu kukenang. Ibu mengumumkan bahwa beliau telah menjahit seragam warna hijau lumut bagi kami semua. Ia juga telah membuat nastar dan kaastengels yang rasanya membuat aku dan Diana cengar cengir. Tapi untuk urusan memasak masakan tradisional seperti nagasari dan ketupat opor, ibu adalah ahlinya.
Sekali berbuka telah kucomot tiga bungkus nagasari. Rasa nikmat di mulut tiba-tiba terhenti.
“Gimana perjalanannya, Mas?”
tanya Diana.
“Baik. Maksudmu sepanjang naik kereta kan?”
“Iya. Aku dan Ibu sempat khawatir mendengar berita di tivi tentang arus mudik Lebaran. Belum lagi rel kereta ambles, kecelakaan, kriminal.”
Aku tersenyum dikulum.
“Itulah, makanya saat mudik seperti ini bukannya
menghamburkan kesenangan tanpa kontrol tapi justru makin minta perlindungan sama Yang Di Atas. Namanya musibah ada di mana-mana.”
Bukan kengerian mudik itu yang membuat kenikmatan mengunyah nagasari hilang seketika. Bayangan kepulanganku siang tadi, kerumunan tukang becak, dan tentu saja. Tugu tua dan penghuni setianya.
“Kamu masih sering lewat tugu stasiun?”
tanyaku pada Diana yang tengah membenahi meja makan.
“Ya sering. Tiap hari kan aku lewat situ kalau mau ke Slerok, ke sekolahku.”
Aku terdiam, menyeruput teh hangat.
“Kamu suka lihat pak tua yang duduk depan tugu?”
“Apa? Siapa?”
“Pak tua,”
ulangku setengah tak sabar.
“Yang di depan tugu.”
Diana terlihat berpikir.
“Yang di pom bensin? Tukang-tukang jual burung
itu?”
“Bukan!” dengusku.
“Yang di tugu tua, kok di pom bensin. Iya, memang tugunya di depan pom bensin. Masa kamu nggak pernah lihat sih?”
“Ooo…..yang di tugu tua,”
ulang Diana.
“Tugu yang mana?”
Aku menarik jilbab Diana ke belakang hingga poninya
berantakan. Ia merengut tapi terkekeh kemudian.
“Kenapa sih Mas? Segitunya. Pake marah-marah lagi.” Aku menghela napas.
“Bukan apa-apa,” suaraku melunak.
“Cuma….ya….rasanya kasihan saja lihat pak tua itu
bertahun-tahun hanya duduk di situ.”
Diana mengangguk.
“Mas masih ingat pengemis buta yang selalu tertawa di Tegalsari? Dekat minimarket Tiara?” Aku mengiyakan.
Sesosok tubuh yang tak pernah lepas
tersenyum menengadahkan tangan sembari bertelekan pada sebuah tongkat bambu panjang, di sambung dengan payung hitam di atasnya. Garis wajahnya menunjukkan ia bukan orang berpikiran normal, apalagi senyum kekanakan selalu menghias wajahnya.
“Dia masih mengemis di Tegalsari?”
“Masih. Sekali waktu aku malah lihat dia naik becak
jalan-jalan di pantai PAI atau keliling pasar pagi.” Aku tertegun, menggigit bibir.
“Banyak yang tidak atau belum berubah, Mas,” Diana meletakkan gerabah kotor di tempat cucian. Ia menatapku lekat.
“Tapi banyak juga yang sudah
berubah.” Aku melongo. Tak sempat berpikir lama karena Ibu sudah mengajak kami semua ke masjid bersipa mengikuti shalat isya dan tarawih.
********
Melihat masjid kami, Nuruk Huda, mengantarkanku
pada kenangan-kenangan di masa silam. Teman-teman kecilku yang periang dan banyak akal. Tak peduli lelaki atau perempuan kami banyak menghabiskan bermain bersama apalagi di saat berpuasa. Main perang- perangan pak-pak dor atau main sandiwara- sandiwaraan.
Arenanya bergantian dari satu rumah ke rumah lain, tetapi rumahku yang berhalaman cukup luas, ditumbuhi pohon mangga dan jambu menjadi tempat favorit teman-teman. Aneh sekali, kerumunan sholat tarawih itu tak semeriah saat aku kecil dulu.
“Banyak yang belum pulang kampung, ya?” tanyaku.
“Siapa?” tanya Diana.
“Yudha, Firdaus, Eka, Risma, dan lain-lain.”
Malam itu, meski tubuhku lelah luar biasa aku tak ingin segera berangkat tidur. Rasa kangen pada Bapak Ibu dan adik-adik membuat mulutku ingin banyak bercerita dan bertanya.
“Kok tadarrusannya cuma bapak-bapak tua?” lamat telingaku mendengar suara ayat-ayat suci dilantunkan.
“Sudah pada sibuk buat kue ya?”
“Sejak awal memang lebih banyak bapak-bapak kok, Mas.”
“Lho, kamu nggak ikut?” Diana angkat bahu.
“Malas. Nggak ada teman.”
“Lha itu, Mbak Eka sama Mbak Risma. Juga teman-
teman kamu si Fifi sama Galuh yang satu sekolah sama kamu. Ke mana mereka?” Diana terdiam.
“Mbak Eka…..” mulut Diana terbuka tapi urung
bercerita.
“Ah, sudahlah. Nggak usah diceritakan.” Dahiku berkerut. Punggungku yang sudah sempat melorot di sofa tertegak lagi.
“Ada apa sama Eka?” Ingatanku melayang pada
seraut wajah manis dengan dua mata bundar yang
bening sekali.
“Mbak Eka sibuk,” sahut Diana singkat. Ia beranjak ke dapur sebentar mengambil semangkok kolak bertabur cacahan es batu di atasnya. Aku serta merta menimbrung mengganggunya. “Sibuk?” mulutku penuh pisang.
“Lagi skripsi ya?”
“Bukan!” sergah Diana.
Ia terlihat ragu sebentar.
“Sibuk sama anaknya!” Sendokku tergelincir jatuh ke lantai. Hampir saja pisang di mulutku ikut tercecer juga kalau tidak buru-buru kudorong masuk ke kerongkongan.
“Anak….anaknya? Anaknya siapa?”
“Ya anaknya ibunya sama bapaknya,” sahut Diana sewot.
“Masa anaknya kucing!” Mulutku menganga lebar sekali.
***
Aku mencoba baju koko hijau lumut bermotif kotak
yang dibuatkan Ibu. Meski rasanya kurang pas untuk
kulitku yang cenderung gelap, aku tetap berterima
kasih. Bagaimanapun Ibu pasti telah susah payah
memilih bahan di tengah panas terik bulan puasa belum lagi mengebut melembur membuatnya. Aku cenderung mengikuti garis Bapak yang gelap dan berahang tegas, sementara kedua adikku berkulit terang seperti Ibu dan berparas lembut. Ibu mengelus rambutku.
“Anak Ibu ganteng,” pujinya tulus. Pujian yang sering kudengar sejak aku duduk di bangku taman kanak- kanak. Membuatku seperti pangeran nomor satu sementara setelah kulihat aslinya di cermin tak lebih bernilai tujuh, bolehnya diberi angak delapan bila jurinya tengah mengantuk. Kuamati wajahku di cermin.
Bukan cuma raut itu yang muncul di sana. Wajah manis Eka ikut membayang.
“Eka nikah sama siapa, Bu?” Ibu menghela napas.
“Sama teman kamu sendiri,” ujarnya pelan.
“Bagas.” Aku menelan ludah.
Perih. Suara Bagas yang lantang mengumandangkan azan maghrib, dalam busana koko putih bersih dan peci rapi terlintas di khayalan.
Eka yang mengenakan jilbab miring-miring, seringkali menangis jika kami menarik-narik kerudungnya hingga jatuh mencekik leher. Aku dan teman-teman yang berebut meminta jatah mengaji terlebih dahulu dari guru kami, Ustadz Muhammad.
“Kenapa mereka, Bu?” aku menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
“Yudha sekarang di gundul plontos kepalanya,
hidungnya pake anting-anting,” jelas Ibu.
“Dia jadi bandar togel di kawasan dekat terminal lama. Risma? Dia sepertinya jadi apa itu… espe… espe... pokoknya apalah. Promosi produk teh.” “SPG,” aku meralat.
“Sales Promotion Girl. Iya, memang tugasnya mempromosikan barang.” Aku teringat sosok kurus dan jangkung Risma sewaktu kecil. Ia mungkin masih tetap seperti itu kini, mungkin ditambah perubahan balutan kaos dan celana panjang ketat. Berpoles lipstik merah dan pandai bermain kata.
Tak sepadan dengan ingatanku pada seorang gadis
bertahun lalu yang sering mendapat pujian dari Ustadz Muhammad akan tulisan khot-nya yang rapi dan indah.
“Yang tetap mungkin Firdaus,” jelas Ibu sedikit
melegakan.
“Selepas STM dia ikut bekerja di bengkel
bubut pamannya di Kejambon.” Aku mengangguk. Sebersit kental kerinduan membuatku ingin segera bertemu Firdaus.
“Apa yang salah dengan teman-temanku, Bu?” Ibu menatapku dalam.
“Bu Hamidah, ibu Bagas dan Bu Esti, ibu Yudha sama- sama teman Ibu di pengajian tiap Jumat sore. Mereka para ibu yang sholehah, mereka menangis ketika mengadukan perihal anaknya pada Ibu. Sebetulnya ibu malu sekali karena seolah mereka meminta nasihat pada Ibu bagaimana caranya mendidik anak jadi seperti kamu dan adik-adikmu. Penurut. Taat ibadah.”
Aku menunduk, sangat tak pantas menerima sanjungan semacam itu. Rezeki Allah yang berlimpah atas diriku dipertemukan lingkungan yang sholeh di kampus Gajah Mada hingga aku mengenal Islam semakin dalam.
“Terus Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang, tak ada yang tetap di dunia ini. Semua
dapat berubah jika kita yakin berdoa. Cobaan mereka dapat menjadi hikmah bila terus menerus bermunajat, sebaliknya jika Ibu tak pandai bersyukur Ibu akan kehilangan semua nikmat ini.”
Aku tersenyum, mengagumi kesederhanaan dan
ketawadu’an Ibu. Aku masih berdiam di kamar Ibu, duduk menemaninya di saat Bapak masih sibuk bekerja di kiosnya.
“Aku kadang nggak mengerti, Bu, kenapa orang tak
memanfaatkan apa yang telah diberikan Allah sebaik- baiknya. Bagas dan Eka lebih baik kehidupannya dari kita, juga Yudha. Sementara itu pun aku ingat pak tua di tugu dan pengemis buta di Tegalsari. Jika saja mereka punya kesempatan lebih baik, mereka mungkin akan mencapai apa yang diinginkan.”
“Begitu kan selalu benak manusia?” ibu tersenyum.
“Jika, jika, dan jika. Siapa tahu kehadiran orang-orang seperti pak tua dan pengemis itu justru senantiasa mengingatkan orang-orang seperti kita betapa beruntungnya hidup kita selama ini..” Aku tertawa lirih.
“Ya… justru mereka ya, Bu, orang-orang yang nggak pernah berubah. Tetap saja merasa cukup dengan keterbelakangan mereka. Tetap memberikan suatu Penyadaran ruhani tanpa mereka sendiri sadari.”
Ibu mengangguk. Aku meringkuk di kasur Ibu,
kebiasaan yang belum berubah semenjak kecil,
menganggap tempat paling nyaman di dunia adalah
kamar kedua orangtuaku. Diana dan Arifin pun begitu. Samar kudengar Ibu masih memainkan mesin jahit, memperbaiki potongan pakaianku yang terasa kurang pas.
Ada yang selalu berubah dalam hidup ini, ada yang tetap senantiasa. Segala yang fana akan berubah,
segala yang hakikat akan tetap . Sama seperti kasih
sayang Bapak Ibu kepadaku.