OLEH : DRS. KHAERUDIN
Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNJ
Disampaikan dalam acara Workshop Kurikulum Program Diploma PGSDI dan PGTKI, yang diselenggarakan oleh Kopertais Wilayah I DKI Jakarta, 30 Juni 2001
A. Pendahuluan
Sejak dibubarkannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada awal tahun
’90-an, penyediaan tenaga guru yang profesional sempat mengalami
kevakuman. Alasan pembubaran SPG ini diantaranya adalah karena
kualifikasi lulusan SPG dianggap sudah tidak lagi memadai untuk membina
dan membimbing anak-anak sekolah. Namun sayangnya pemerintah tidak
segera mendirikan lembaga baru sebagai pengganti yang dianggapnya
memadai untuk mendidik para guru pada tingkat TK dan SD tersebut.
Padahal kebutuhan guru di masyarakat semakin banyak dengan semakin
menjamurnya TK, baik itu TK umum, TK Islam, Kelompok Bermain (Play
Group), dan TK Alquran serta penitipan anak. Dihampir setiap sudut
kampung, saat ini, telah terdapat lembaga pendidikan jenis ini.
Dengan menjamurnya TK-TK baru, di satu sisi kondisi ini sangat
menggembirakan, karena ini menunjukkan telah meningkatnya kesadaran
masyarakat kita akan pentingnya pendidikan anak-anak dilakukan sejak
dini. Namun sayangnya, kondisi ini tidak disertai dengan penyediaan
perangkat yang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut, baik
sarana prasarana, maupun sumber daya manusianya (guru). Tidak sedikit TK
yang diselenggarakan di tempat yang “seadanya” dengan guru “modal
nekad”. Data hasil survey yang dilakukan penulis pada tahun 1997
(setelah hampir 9 tahun PGTK “swasta” berdiri) menunjukkan masih
terdapat sekitar 16% guru TK yang tidak berpendidikan guru TK dan masih
terdapat 57% mereka yang berpendidikan SPG TK, yang nota bene dijadikan
sebagai alasan dibubarkannya SPG.
Untung sebagian anggota masyarakat menangkap peluang ini dan segera
mendirikan PGTK, sehingga saat ini PGTK terdapat dihampir setiap
kelurahan. Keberadaanyapun sangat beragam, baik dari segi sarana dan
prasarananya, dan terutama program yang ditawarkan. Ada sementara PGTK
yang mencoba menawarkan pendidikan dalam jangka waktu hanya enam bulan
dan menjanjikannya menjadi guru profesional, dan ada juga yang program
satu atau dua tahun. Keragaman juga terjadi pada kurikulum yang mereka
gunakan. Untuk hal yang terakhir ini jelas akan memberi dampak pada
terjadinya keragaman lulusan (guru TK) yang dihasilkan. Apabila
keragaman terjadi pada jenis keahlian yang menunjukkan kekhasan guru TK
dari suatu lembaga, tentu ini menyenangkan. Namun yang dikhawatirkan
adalah keragaman terjadi pada kualitas lulusan/ kompetensinya, dimana
diluluskan para calon guru yang tidak memadai untuk melaksanakan tugas
mengajar di TK (guru “karbitan”).
Prakarsa Kopertais untuk melaksanakan workshop pengembangkan kurikulum
PGTKI adalah satu usaha yang sangat tepat. Sebab dengan kegiatan ini
diharapkan akan diperoleh satu kurikulum yang dapat dijadikan sebagai
acuan oleh PGTKI dalam mengembangkan kurikulumnya masing-masing. Artinya
penulis berpendapat bahwa kurikulum yang dikembangkan oleh Kopertais
hendaknya bukanlah kurikulum yang baku, kaku dan final, tetapi kurikulum
yang fleksibel namun jelas arah dan tujuannya. Kurikulum yang
dikembangkan oleh Kopertais adalah kurikulum inti. Para pengelola
PGTKI-lah yang akan mengembangkan kurikulum itu secara lebih spesifik
sesuai dengan karakteristiknya masing-masing namun tetap ada pada jalur
dan arah yang telah ditetapkan oleh Kopertais. Dengan demikian akan
dihasilkan para calon guru TK yang memiliki keahlian yang berbeda dan
khas dari masing-masing lembaga (PGTKI), namun tetap memiliki kompetensi
dasar yang memadai sebagai guru TK Islam.
B. PGTKI ?
Sebagaimana kita ketahui PGTKI merupakan singkatan dari Pendidikan Guru
Taman Kanak-kanak Islam. Dari namanya kita bisa menebak lembaga
pendidikan apa itu. PGTKI adalah sebagai lembaga pendidikan yang berciri
khas keagamaan (Islam) yang mendidik dan melatih para calon guru taman
kanak-kanak. Dengan “embel-embel” kata “Islam” pada nama PGTK, ini
menunjukkan bahwa PGTK Islam berbeda dengan PGTK “umum” yang ada di UNJ,
misalnya. Hanya masalahnya, apakah yang membedakan itu hanya pada nama ?
tentunya tidak. Perbedaan tersebut harus ada pada esensinya yang
tergambar dalam program dan proses penyelenggaan pendidikan di PGTK
tersebut. Dengan kata lain, PGTK Islam adalah lembaga pendidikan tenaga
kependidikan yang diselenggarakan secara islami, yang menghasilkan para
guru TK yang berkarakter islami. Hal ini akan terwujud apabila kurikulum
yang digunakan di lembaga tersebut juga kurikulum yang islami. Hal
senada dikemukakan oleh Fathiyah Hasan Sulaiman dalam bukunya Sistim
Pendidikan Versi Al-Ghazaly (1986). Bahwa ciri khas Pendidikan Islam
terdapat pada sifat moral religius yang nampak jelas dalam tujuan yang
ingin dicapai dan sarana dan prasarananya tanpa mengabaikan
masalah-masalah duniawi. Lebih jauh ciri khas keislaman hendaknya tampak
pada faktor-faktor lain dalam penyelenggaraan PGTK Islam, seperti
manajemen, dosen, dan pimpinan PGTKI tersebut.
Karakter lain dari PGTKI adalah pada saat ini masih berjenjang diploma.
Ini berarti bahwa PGTKI adalah lembaga pendidikan profesional dan bukan
pendidikan akademik. Sebagai lembaga pendidikan profesional, PGTKI akan
mendidik para mahasiswanya menjadi praktisi yang terampil dalam bidang
pendidikan anak-anak. Proses pendidikan ditekankan pada penguasaan
kemampuan praktis dan tidak pada penguasaan dasar teori yang terlalu
rumit dan mendalam. Karakter ini juga harus tergambar dalam kurikulum
PGTKI.
C. Kurikulum PGTKI Sebagai Suatu Sistem
Untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan kurikulum, penulis akan
melihat dan menganalisis kurikulum dengan pendekatan sistem (System
Approach). Dengan menggunakan pendekatan ini maka kurikulum dapat
dipandang sebagai suatu sistem. Artinya kurikulum itu terdiri dari
sejumlah komponen yang saling terkait, bekerja sama dan saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Salah satu ciri dari sistem adalah
apabila ada salah satu komponen yang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya maka tujuan tidak akan tercapai dengan baik.
Sebagai suatu sistem kurikulum terdiri dari komponen tujuan, materi,
strategi dan evaluasi. Dengan demikian maka pengembangan kurikulum
dilakukan dengan cara mengembangkan komponen-komponen tersebut secara
sistemik. Artinya pengembangan dimulai dengan mengembangkan tujuan dan
dilanjutkan dengan komponen-komponen lainnya. Dengan pendekatan sistem
ini, komponen tujuan dikembangkan terlebih dahulu, karena komponen ini
akan menjadi acuan dalam pengembangan komponen-komponen lainnya.
1. Pengembangan Tujuan Institusional (PGTKI)
Mengingat pengembangan kurikulum dilakukan untuk tingkat kelembagaan
(PGTKI), maka kurikulum yang dikembangkan disebut dengan kurikulum pada
tingkat institusional. Dalam kurikulum pada tingkat ini tujuannya
disebut dengan tujuan institusional. Di dalam rumusan tujuan ini akan
tergambar kemampuan apa yang harus dimiliki oleh para mahasiswa pada
saat mereka menyelesaikan pendidikannya di PGTKI tersebut.
Proses pengembangan tujuan institusional harus dilakukan secara
hati-hati, dan harus mencakup kemampuan yang komprehensif. Karena
komponen ini akan mempengaruhi pada pengembangan komponen lainnya.
Dilihat dari isi, kemampuan yang tergambar dalam rumusan tujuan harus
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya dalam
rumusan tujuan itu harus terumuskan secara eksplisit
pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan apa saja yang harus dimiliki
oleh para guru TK untuk melaksanakan tugasnya, mengajar. Demikian juga
sikap yang bagaimana yang harus selalu ditunjukkan dalam gerak-gerik
guru dalam kehidupannya sehari-hari, baik pada saat di rumah terutama di
“sekolah”.
Bagaimana tujuan institusional dirumuskan ?
Agar mendapatkan rumusan tujuan yang baik, maka perumusan tujuan harus
didasarkan pada kajian tentang landasan filosofis dan aspek-aspek
sosiologis yang berkembang dalam masyarakat tempat kurikulum itu akan
dilaksanakan. Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum akan
memberi dasar yang kuat tentang manusia yang diharapkan dihasilkan
melalui pendidikan. Kajian-kajian filosofis dilakukan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, misalnya, manusia yang bagaimanakah yang disebut
manusia yang baik dan berguna; guru yang bagaimana yang dikategorikan
sebagai guru yang baik; apa fungsi pendidikan (sekolah) bagi masyarakat,
bagaimana kedudukan manusia di jagat raya ini, dan lain sebagainya.
Karena kajian filosofis ini dilakukan untuk kepentingan dunia
pendidikan, maka filsafat yang digunakannyapun tentunya filsafat
pendidikan.
Banyak aliran filsafat pendidikan yang bersumber dari hasil pemikiran
para filosof dari barat. Filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,
progresivisme, dan rekonstruksionisme, adalah diantara
filsafat-filsafat pendidikan yang cukup berpengaruh dalam dunia
pendidikan. Namun karena kurikulum yang ingin kita kembangkan adalah
kurikulum yang islami, maka filsafat yang dijadikan dasarnya juga harus
bersumber pada nilai-nilai ajaran islam yang termuat dalam sumber
utamanya yaitu quran dan hadist.
Beberapa falsafah Al-quran Al-Karim – sebagaimana dikemukakan oleh Dr.
Mohamad Fadhil El-Jammaly (Sulaiman, 1986) – yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam merumuskan tujuan pendidikan adalah :
a. Al-quranul Karim memandang manusia dan jagat raya adalah sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan demikian juga dengan penciptanya.
b. Manusia merupakan perpaduan antara akal, emosi dan perbuatan.
c. Perkembangan manusia hendaknya meningkat dan menanjak ke arah
cita-cita yang tinggi dan kehidupan yang ideal, yaitu kehidupan yang
terpuji dan sempurna.
Beberapa falsafah di atas dirangkum menjadi ciri dan inti dari
pendidikan Islam adalah usaha untuk mencapai ketinggian spiritual,
moral, sosial, kreativitas, dan intelektual manusia. Berdasarkan pada
falsafah ini beberapa ahli pendidikan Islam mencoba merumuskan tujuan
pendidikan Islam yang bersifat umum. Prof. Mohd. Athiya El-Abrasyl dalam
kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan yang asasi
bagi pendidikan Islam, yaitu :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,
b. Persiapan untuk kehidupan di dunia dan akhirat,
c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan,
d. Menumbuhkan roh ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan arti
untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu,
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan (Al-Syaibani, 1979).
Sementara Imam Ghazaly menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan para siswa untuk mencapai dua tujuan, yaitu :
a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sulaiman, 1986).
Di samping membantu merumuskan tujuan secara filosofis dan masih
bersifat umum, kajian filsafat ini juga akan membantu menetapkan peran
lembaga pendidikan dalam konteks “kebudayaan” masyarakat. Apakah kita
akan meletakkan lembaga pendidikan itu (PGTK) sebagai lembaga
pengawet/pelestari/ pewaris “kebudayaan” masyarakat yang telah ditemukan
dan berkembang, atau sebagai agen pembaharu (agent of change), atau
bahkan kita akan mencoba memerankan kedua-duanya. Bila kita mencoba
meletakkan peran lembaga pendidikan sebagai pengawet kebudayaan dan
sekaligus sebagai agen pembaharu, maka kita pun harus mampu menentukan
kebudayaan-kebudayaan mana yang memang harus tetap dipertahankan. Satu
hal yang harus diperhatikan adalah apabila kita mempertahankan suatu
kebudayaan jangan sampai menghambat untuk melaksanakan peran yang lain,
yaitu sebagai agen pembaharu.
Sebagai agen pembaharu maka kampus akan menjadi motor perubahan untuk
mengatasi kemandekan-kemandekan yang terjadi dalam masyarakat. Kampus
harus menjadi lembaga penghasil “orang baru” yang akan melakukan
perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan peran ini yang
diperlukan oleh seorang mahasiswa bukan hanya penguasaan kemampuan yang
bersifat kognitif, tetapi yang paling penting adalah tumbuhnya sikap dan
keberanian untuk melakukan perubahan itu.
Selain mengacu pada pandangan-pandangan filosofis, proses perumusan
tujuan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat pada saat para
mahasiswa lulus dan memasukinya. Hal ini penting mengingat pada saat
mereka lulus mereka harus berkiprah dan berperan aktif dalam membangun
masyarakatnya. Apabila kemampuan yang mereka miliki tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat maka mereka tidak akan mampu melakukan apa-apa, dan
lahirlah apa yang disebut dengan para penganggur intelek.
Aspek-aspek yang harus mendapat perhatian dalam masyarakat diantaranya
adalah tuntutan dunia kerja dengan berbagai persyaratannya, berbagai
peluang dan tantangan/ancaman yang mungkin dihadapi, perubahan-perubahan
dalam bidang iptek yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat,
pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan karakteristik masyarakat dari
worker society menjadi employee society, dari masyarakat “proletariat”
menjadi masyarakat “cognitariat” (Toffler) atau masyarakat belajar
“learning society” (Peter M. Senge, 2000), dan terjadinya eksplosi
informasi karena pengaruh perkembangan information technology (IT) yang
sangat cepat yang didorong oleh perkembangan teknologi komunikasi dan
komputer.
Melihat berbagai perubahan di atas, yang lebih penting adalah melihatnya
pada dimensi waktu yang akan datang. Tepatnya saat dimana para lulusan
memasuki dunianya. Sebagai contoh, bila saat ini kita akan mendidik
calon guru TK dengan program diploma dua tahun, maka kita harus
mempersiapkan mereka dengan berbagai kemampuan (pengetahuan,
keterampilan, sikap, kreativitas, emosi, dan religi) yang diperlukan
mereka dalam menghadapi berbagai kondisi di atas yang akan terjadi pada
tahun 2003. Dilihat dari aspek “peluang dan tantangan/ ancaman”,
misalnya. Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2003 mulai diberlakukan
AFTA. Ini berarti disatu sisi mereka akan memiliki peluang yang sangat
luas untuk mendapatkan pekerjaan dengan pengahasilan yang lebih besar,
karena wilayah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut semakin luas, bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara anggota AFTA lainnya,
seperti Malaysia, Singapura, Brunei atau Filipina. Namun di sisi lain,
kondisi ini justru menjadi tantangan dan sekaligus ancaman bagi mereka
untuk mendapatkan pekerjaan, karena pada saat itu para pekerja (guru)
dari negara anggota AFTA juga dapat dengan leluasa memasuki pasaran
kerja di Indonesia. Di sini akan terjadi persaingan yang ketat, dan kita
tahu akhirnya hanya mereka yang berkualitaslah yang akan memenangkan
persaingan itu. Dengan kata lain bagaimana kita menyiapkan para guru TK
kita yang berkualitas dan mampu bersaing dengan para guru dari negara
anggota AFTA lainnya.
Jawaban atas pertanyaan di atas, dan dengan mengacu pada kajian-kajian
di atas, maka dirumuskanlah Visi, Misi, dan Tujuan dari lembaga
pendidikan guru TK. Visi adalah cita-cita akhir yang diharapkan akan
tercapai di masa depan yang jauh, yang sesuai dengan atau merupakan
suatu pandangan hidup, atau bagian dari pandangan hidup (Tampubolon,
2000). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Jansen H. Sinamo (1998)
yang mengatakan visi adalah apa yang kita dambakan – dalam hal ini
secara organisasional – untuk kita miliki atau peroleh di masa depan
(what do we want to have). Sementara misi adalah tugas pokok yang akan
dilaksanakan untuk merealisasi visi (Tampubolon, 2000). Sementara Sinamo
menyatakan misi adalah dambaan tentang kita ini ingin menjadi apa di
masa depan (what do we want to be).
Pertanyaan selanjutnya adalah apa dan bagaimana merumuskan tujuan pendidikan guru TK ?
Secara umum dapat dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan TK harus
memperhatikan pemikiran-pemikiran filosofis para filosof Islam dan
berbagai kecenderungan perubahan masyarakat di masa yang akan datang.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki para
lulusan PGTKI (calon guru TK Islam) harus menggambarkan nilai-nilai
filosofis Islam yang tinggi dan trend-trend baru yang berkembang dalam
masyarakat.
Di samping mengacu kepada hasil pemikiran yang bersifat filosofis dan
kajian-kajian sosiologis di atas, secara teknis terdapat beberapa model
untuk dapat merumuskan tujuan pendidikan yang feasible dan tepat. John
D. McNeil mengemukakan terdapat tiga model yaitu model penilaian
kebutuhan (needs assesment model), model rasional dari Ralph W. Tyler,
dan model latihan. Dengan model penilaian kebutuhan, rumusan tujuan
institusional (PGTKI) dikembangkan dengan didahului oleh penilaian
tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan dan dituntut oleh “masyarakat”
dari seorang lulusan (guru TK Islam). Untuk itu perlu dilakukan
penelitian empiris yang mendalam dengan menggali informasi dari
berbagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan guru TK
(stakeholders), seperti para orang tua mahasiswa, pemakai lulusan,
masyarakat, para ahli dan pengamat pendidikan, dan juga para pengambil
kebijakan dalam bidang pendidikan guru.
Model rasional mencoba mengkombinasikan antara rumusan tujuan hasil
kajian teoritis dengan kajian lapangan yang bersifat empiris. Rumusan
tujuan sebagai hasil dari kajian teoritis (deduktif) dikonsultasikan
dengan sumber-sumber yang ada di lapangan (induktif). Para ahli
kurikulum rasional biasanya menunjuk pada tiga sumber yaitu studi
tentang siswa, studi tentang masyarakat dan kebudayaannya, dan pendapat
para ahli bidang studi.
Sementara model latihan mencoba merumuskan tujuan pendidikan didasarkan
atas kompetensi lulusan dalam melakukan suatu pekerjaan. Proses
pengembangannya dilakukan dengan melakukan analisis tugas (task
analysis). Model inilah yang dalam proses pengembangan kurikulum guru
melahirkan konsep pendidikan guru berdasarkan kompetensi atau Competency
Base Curriculum (CBC). Bila kita menggunakan model ini untuk
mengembangkan tujuan kurikulum PGTKI, maka terlebih dahulu kita akan
melakukan analisis tugas-tugas pokok yang harus dilakukan oleh setiap
guru TK Islam. Setelah diperoleh serangkaian tugas pokok, analisis
dilanjutkan dengan mengkaji pertanyaan, kompetensi-kompetensi apa saja
yang harus dimiliki oleh para guru TK Islam untuk melaksanakan setiap
tugas pokoknya. Bahkan analisis dilanjutkan sampai ditemukan
sub-kompetensinya.
Sebagai contoh dengan mengacu pada landasan pikir di atas, dan dengan
menggunakan model latihan, dapat dirumuskan tujuan dengan
langkah-langkah berikut :
Tugas Pokok Guru TK
1. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik yang sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
2. Membimbing anak-anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama islam,
3. Membimbing anak-anak untuk mengenal lingkungannya, baik fisik maupun
sosial, dan mengaitkannya dengan keesaan dan kekuasaan Allah,
4. Memberi contoh / teladan dalam bersikap dan berperilaku islami,
5. Membina hubungan baik dengan berbagai pihak untuk kelancaran dan keberhasilan pendidikan di “sekolah”,
6. Mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan profesionalismenya.
Kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas :
1. Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
Memahami karakteristik anak usia TK,
Menguasai program pembelajaran yang telah ditetapkan untuk anak TK,
Mampu membuat perencanaan pembelajaran untuk anak usia TK,
Menguasai materi / topik / tema pembelajaran di TK
Menguasai berbagai strategi pembelajaran yang menarik bagi anak usia TK,
Mampu memilih, merencanakan, membuat, dan menggunakan media pembelajaran bagi anak usia TK,
Mampu mengembangkan, melaksanakan, dan melaporkan hasil evaluasi perkembangan anak.
2. Membimbing anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Memiliki pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam,
Menguasai metode / strategi yang tepat dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam kepada anak usia TK,
2. Pengembangan Isi / Bahan Kurikulum PGTKI
Komponen materi dalam konteks kurikulum institusional adalah
bidang-bidang kajian dan berbagai pengalaman belajar yang harus
dipelajari dan dialami oleh para mahasiswa untuk menguasai seluruh
kompetensi yang telah dijabarkan ke dalam rumusan tujuan institusional.
Komponen ini boleh dikatakan “jiwa” atau “roh” dari sebuah kurikulum.
Tanpa komponen ini tidak ada yang namanya kurikulum. Namun demikian
dengan menggunakan pendekatan sistem, penentuan setiap bidang kajian dan
bebagai pengalaman yang akan disajikan kepada para mahasiswa tetap
harus mengacu pada tujuan institusional. Materi tidak boleh lepas dari
tujuan. Karena itulah pada saat penulis diminta melakukan peninjauan
konten kurikulum PGTKI, mengalami kesulitan bila tanpa terlebih dulu
melakukan kajian terhadap tujuannya.
Secara teoritis, apa yang akan menjadi isi kurikulum adalah sama dengan
apa yang dirumuskan dalam tujuan. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk
menentukan dan mengembangkan materi / isi harus mengacu pada tujuan.
Karena itulah kajian tentang apa yang menjadi isi suatu kurikulum dan
dari mana diperolehnya, sama dengan pada saat akan merumuskan tujuan.
Namun di samping itu, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam
mengembangkan materi / isi kurikulum, yaitu masyarakat dan
kebudayaannya, anak, dan pengetahuan (Nasution, 1988).
Untuk memudahkan kita dalam mengembangkan materi / isi kurikulum,
langkah yang paling mudah adalah dengan menganalisis tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya. Pertanyaan yang harus dijawab adalah pengalaman
belajar apa yang harus dijalani, atau hal-hal apa saja yang harus
dipelajari oleh mahasiswa untuk dapat menguasai tujuan atau kompetensi
tersebut.
Dengan mengacu pada tugas dan kompetensi di atas, maka bidang-bidang
kajian yang harus dipelajari para mahasiswa PGTKI adalah kajian tentang :
1. Karakteristik anak usia TK dengan berbagai permasalahan dan cara pemecahannya,
2. Program pembelajaran di TK,
3. Subjek matter yang diajarkan bagi anak usia TK,
4. Lingkungan hidup anak usia TK, baik fisik maupun sosial,
5. Berbagai perencanaan pembelajaran yang mungkin dilaksanakan di TK,
6. Proses pengelolaan pembelajaran bagi anak usia TK,
7. Proses perencanaan, pembuatan dan penggunaan media pembelajaran di TK,
8. Proses perencanaan, dan pelaksanaan evaluasi serta teknik pelaporannya,
9. Kajian tentang aqidah dan akhlak (etika) dalam ajaran agama Islam,
10. Metodologi pembelajaran aqidah akhlak bagi anak usia TK,
11. Teknik berkomunikasi / berbahasa (Indonesia dan asing),
12. Teknik pengembangan diri (personal dan profesional).
Berbagai bidang kajian di atas, bukan nama mata kuliah. Sehingga dalam
satu bidang kajian bisa dikembangkan satu atau lebih mata kuliah.
Sebaliknya, bisa saja dua atau lebih bidang kajian dibahas dalam satu
mata kuliah. Lebih jauh bisa saja terjadi suatu bidang kajian tidak
perlu dibahas dalam satu mata kuliah tersendiri, tetapi diintegrasikan
ke dalam semua mata kuliah. Pengembangan bidang kajian menjadi satu atau
lebih mata kuliah atau beberapa bidang kajian digabung menjadi satu
mata kuliah, sangat bergantung pada tingkat keluasan dan kedalaman dan
sifat bidang kajian tersebut. Ini juga akan sangat berpengaruh terhadap
jumlah beban studi (SKS) pada masing-masing mata kuliah.
Di samping mengkaji berbagai bidang kajian di atas, berbagai pengalaman
belajar langsung yang bersifat praktis juga harus dipersiapkan untuk
mencapai berbagai kompetensi di atas. Program-program ko dan ekstra
kurikuler yang bersifat menunjang dan memperkaya khasanah pengalaman
belajar anak harus dikembangkan secara kreatif.
3. Pengembangan Strategi dan Organisasi Kurikulum PGTKI
Sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan PGTKI sebagai lembaga
pendidikan tenaga kependidikan program diploma, maka berbagai pengalaman
dan kegiatan belajar yang dialami mahasiswa hendaknya diarahkan dan
dilaksanakan mengarah pada penguasaan kemampuan yang bersifat praktis
profesional. Karena itu berbagai bidang kajian di atas harus
diorganisasi dalam bentuk mata kuliah yang lebih praktis dan tidak
terlalu teoritis. Dalam hal ini bukan berarti kajian-kajian yang
bersifat teoritis tidak diperlukan, tetap diperlukan, namun apabila itu
dilakukan pembahasannya harus sampai pada tahap aplikasi, dan tidak
berhenti hanya pada tahap pengetahuan, sehingga para mahasiswa
mendapatkan pengalaman belajar yang lebih nyata. Dalam kaitan ini
penulis memperkirakan komposisi materi kuliah antara teori dan praktek
adalah 30 : 70.
Dengan komposisi materi perkuliahan seperti di atas, diharapkan
perkuliahan dan pengalaman belajar yang dialami mahasiswa tidak hanya
sebatas pada mendengar dan melihat, tetapi sampai pada melakukannya. Hal
ini penting mengingat di dalam kehidupan nyata – pada saat mereka
melaksanakan tugasnya, mengajar – yang mereka harus lakukan bukan hanya
sekedar mengingat kembali apa yang telah dipelajari tetapi yang penting
adalah bagaimana melaksanakannya. Aktivitas seperti ini sesuai dengan
ungkapan Cina Kuno : When I hear, I forget. When I see, I remember. When
I do, I understand (Tilaar, 2001).
Untuk bidang kajian yang pengkajiannya dapat dilakukan secara
interdisipliner hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi. Artinya
bidang kajian tersebut dimasukkan ke dalam setiap mata kuliah yang
relevan dan semua dosen yang membina mata kuliah tersebut berkewajiban
untuk ikut mengkajinya dengan pandangan disiplin ilmunya masing-masing.
Di samping kegiatan perkuliahan yang bersifat intrakurikuler, mahasiswa
juga harus banyak diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan ko dan
ekstra kurikuler. Kegiatan-kegiatan kokurikuler yang diberikan bukan
hanya berupa pekerjaan rumah (PR) yang bersifat pengkajian kepustakaan,
tetapi berupa tugas untuk terjun ke “lapangan” atau TK untuk
melaksanakan observasi. Setiap dosen dapat memberikan tugas ini sesuai
dengan mata kuliahnya masing-masing dan meminta mahasiswa untuk
melaporkannya. Melalui strategi ini mahasiswa memiliki banyak kesempatan
untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan yang akan dimasukinya,
sehingga wawasannya akan lebih luas, beragam, dan praktis. Hal ini
sesuai dengan teori proksimitas yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky yang
menyatakan bahwa perkembangan seorang individu tidak terlepas dari
interaksinya dengan lingkungannya (Tilaar, 2001).
Terkait juga dengan ungkapan Cina Kuno di atas, maka interaksi yang
dilakukan mahasiswa di TK jangan hanya sebatas mengamati, tetapi juga
harus sampai pada melakukan. Karena itu program-program magang dan
praktek pengalaman lapangan harus dirancang secara sitematis dan
terencana dengan baik. Pembinaan dan pembimbingan terhadap para
mahasiswa juga harus lakukan secara intensif, sehingga interaksi mereka
dengan lingkungannya menjadi benar-benar bermakna.
Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas, di samping melalui kegiatan
intra dan kokurikuler, juga hendaknya dilengkapi dengan
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Melalui kegiatan ini seringkali
mahasiswa mendapatkan pengalaman-pengalaman belajar yang tidak pernah
dibahas dan tidak pernah ditemukan di dalam “kelas”. Untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi, pengembangan kepribadian, kepemimpinan,
toleransi, dan berbagai sikap lain dapat dikembangkan melalui kegiatan
ini.
3. Pelaksanaan Evaluasi
Untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan perlu dilakukan evaluasi.
Mengingat tujuan institusional yang ingin dicapai sangat luas maka
evaluasi yang dilakukan juga harus komprehensif. Artinya proses evaluasi
terhadap perkembangan mahasiswa bukan hanya didasarkan pada penguasaan
pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga pada aspek psikomotorik
dan terutama aspek sikap dan kepribadian.
Evaluasi hendaknya dilakukan baik terhadap proses maupun hasil. Evaluasi
terhadap proses berlangsung selama mahasiswa berada di kampus, baik
pada saat di dalam maupun di luar kelas. Sementara evaluasi hasil
dilakukan minimal dua kali dalam satu semester, yaitu pada tengah dan
akhir semester.
D. Penutup
Demikianlah beberapa pemikiran sederhana yang dapat penulis sampaikan
dalam curah pendapat ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam.
(Alih Bahasa : Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang.
H.A.R. Tilaar. (2001). Membangunkan Sibernasi Ilmu Pendidikan Dalam Era Reformasi: Peran Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: UNJ.
Fathiyah Hasan Sulaiman. (1986). Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazaly. (Alih Bahasa: Fathur Rahman May, Syamsudin Asyrafi). Bandung: PT Alma’arif.
Khaerudin. (1998). Visi, Misi, dan Strategi Pendidikan TK Memasuki Abad XXI. Orasi ilmiah pada Wisuda PGTK Citra Didaktika, 8 Agustus 1998
——–. (1997). Survey Karakteristik Guru Taman Kanak-kanak di Wilayah DKI Jakarta. Hasil Penelitian, Lemlit IKIP Jakarta.
Nasution, S. (1988). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Alumni.
McNeil, John D. (1977). Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Comp.
Print, Murray. (1993). Curriculum Development and Design (Second Edition). NSW: Allen & Unwin Pty. Ltd.
Sinamo, Jansen H. (1998). “Menciptakan Visi Motivatif”. Manajemen, Agustus 1998
Tampubolon, D.P. Pokok-pokok Perencanaan Strategis Perguruan Tinggi Untuk Mutu. Jakarta: UNJ
Popularity: 29% [?]